Bandung – Konsep wisata pasar tradisional Sunda zaman dahulu dihadirkan oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Cisurupan, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Nama acara tersebut adalah Pasar Padaringan. Padaringan merupakan singkatan dari “Pakarangan Dapur Seni Budaya Sareng Ibing Cisurupan“, yang mengusung kearifan lokal dan budaya Sunda.
Pasar Padaringan diselenggarakan di kawasan hutan bambu yang terletak di Leweung Awi Mbah Garut. Beberapa kios yang terbuat dari bambu didirikan di tempat ini, dan kios-kios tersebut menjual berbagai macam makanan dan minuman khas Sunda. Di antaranya ada surabi, bandrek, awug, gorengan, leupeut, bandros, dan berbagai jenis kue tradisional lainnya yang menggugah selera.
Bagi para pengunjung yang ingin membeli makanan atau minuman di Pasar Padaringan, mereka diwajibkan untuk menukarkan uang tunai mereka dengan koin yang sudah disediakan di loket penukaran uang. Koin tersebut memiliki nilai Rp5 ribu, Rp10 ribu, dan Rp20 ribu yang bisa digunakan untuk bertransaksi di pasar ini.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasar Padaringan diadakan dua kali dalam sebulan dan mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Kota Bandung. Acara ini tidak hanya bertujuan untuk menyajikan kuliner tradisional, tetapi juga untuk menggerakkan roda perekonomian masyarakat sekitar, karena para penjual di pasar ini berasal dari UMKM yang ada di Kecamatan Cibiru.
Selain menikmati makanan, pengunjung juga disuguhkan dengan berbagai atraksi seni dan budaya khas Cibiru dan daerah sekitarnya. Penampilan seni tradisional seperti jaipongan, benjang, rajawali, reak, dan lainnya menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Atraksi seni ini bertujuan untuk memberikan hiburan sekaligus melestarikan budaya lokal.
Setelah membeli makanan, pengunjung dapat duduk di kursi bambu yang disediakan, sambil menikmati sajian kuliner tradisional dan menyaksikan pertunjukan seni budaya seperti penampilan Reak dan Rajawali.
Ketua Pokdarwis Cisurupan, Ari Irawan, menyatakan bahwa Pasar Padaringan merupakan konsep pasar tradisional yang mengusung nuansa zaman dulu, di mana makanan yang disajikan tidak menggunakan bahan pengawet atau plastik. “Acara ini digelar dua kali dalam sebulan,” ujar Ari Irawan kepada detikJabar pada Minggu, 12 Januari 2025.
Ari juga menyampaikan bahwa pada awal penyelenggaraan, jumlah pengunjung bisa mencapai sekitar 1.000 orang. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah pengunjung sedikit menurun, terutama dipengaruhi oleh faktor cuaca. Meskipun demikian, dalam beberapa acara terakhir, jumlah pengunjung kembali stabil dan sesuai dengan target.
“Dalam satu event, perputaran uang mencapai sekitar Rp20 juta. Sistem di sini menggunakan koin sebagai alat pembayaran, bukan uang tunai langsung. Ada koin dengan nominal Rp5 ribu, Rp10 ribu, dan Rp20 ribu,” jelasnya.
Ari menilai bahwa Pasar Padaringan memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat setempat. Dia berharap, ke depan, acara ini bisa terus berkembang dan menarik lebih banyak pengunjung, termasuk masyarakat yang tinggal di luar wilayah Cibiru.
“Saya berharap acara ini dapat terus berkembang dan memberi manfaat lebih besar bagi perekonomian serta pelestarian seni budaya di wilayah kami,” harap Ari.
Sujana, seorang pengunjung dari Cilengkrang, mengungkapkan kekagumannya terhadap suasana Pasar Padaringan. “Ini pertama kalinya saya ke sini, dan suasananya sangat menarik. Tempat wisata ini berada di tengah hutan bambu, sangat alami. Saya baru tahu dari anak saya tentang tempat ini,” ujarnya.
Sujana juga mengungkapkan bahwa meskipun konsep Pasar Padaringan sudah sangat bagus, namun ia merasa bahwa akses jalan menuju lokasi masih cukup terjal dan perlu penataan lebih lanjut.
“Konsepnya sudah sangat bagus, menggambarkan budaya Sunda asli. Ini tempat yang harus terus dilestarikan. Namun, jalan ke sini perlu diperbaiki karena cukup terjal,” tuturnya.
Penulis : Yovela
Editor : Yovela
Sumber Berita : https://www.detik.com